Breaking News

MISTERI EKSISTENSI ANGKA NOL


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 21 September 2025.
Di dalam belantara alam matematika, angka nol sering dipandang hanya sebagai simbol matematis: “0”, “zero”, atau “nol” belaka. Padahal di balik sunyi simbol angka nol, tersembunyi gema yang mengguncang jagad pemikiran. Memang sebagai simbol ia bisa saja diganti dengan kombinasi garis dan/atau lengkung lain yang tak terbatas jumlah variasinya, dan sebagai bunyi yang terucap dia pun bisa juga diganti dengan bunyi lain yang tak terbatas juga. Namun sebagai simbol ia mewakili makna dari kekosongan yang melahirkan kemungkinan. Makna intrinsik ini yang tak berubah, meskipun simbol dan pengucapannya diubah. Ia bukan sekadar simbol bundar tanpa isi. Nol adalah ruang kosong yang tidak hampa, melainkan mengandung potensi tak terbatas. Ruang kosong memberikan kesempatan kepada obyek pada lukisan untuk tampil lebih tegas sebagai titik perhatian. Seperti halnya jeda dalam musik yang justru memberi makna pada nada. Jeda, memberikan ruang bagi nada untuk memunculkan potensi keindahannya, memberikan panggung bagi melodi untuk menari-nari. Tanpa kekosongan, konsep keberadaan pun akan sulit dijelaskan. Nol adalah keheningan yang memungkinkan keberadaan. Ia bukan sekadar bilangan, melainkan representasi dari kekosongan, potensi, dan ruang transendental yang memungkinkan keberadaan lainnya hadir.

Tanpa nol, sistem bilangan modern tidak akan sempurna. Dalam matematika, nol menempati posisi unik. Ia bukan bilangan positif maupun negatif, melainkan titik netral yang memungkinkan operasi aritmetika berjalan konsisten. Menurut Kaplan (2000), nol adalah “angka paling misterius” karena ia sekaligus menandai ketiadaan dan memberi fondasi pada sistem desimal yang menopang peradaban modern. Tanpa nol, konsep nilai tempat dalam bilangan tidak dapat terdefinisi dengan jelas, dan kalkulasi kompleks seperti aljabar maupun kalkulus akan runtuh. Lebih jauh, filsafat matematika menempatkan nol sebagai representasi dari konsep nothingness; ketiadaan yang justru memungkinkan pengukuran dan perhitungan atas sesuatu. Hal ini mirip dengan pemikiran Aristoteles yang menganggap bahwa ketiadaan (void) merupakan sesuatu yang paradoksal: tidak ada, namun tetap harus diakui agar “ada” dapat dimengerti (Lear, 1988).

Dalam filsafat eksistensialisme, nol dapat dipahami sebagai simbol kehampaan yang mendahului eksistensi. Sartre (1943/1993) dalam Being and Nothingness menegaskan bahwa manusia selalu berhadapan dengan “kekosongan” yang melekat pada dirinya. Kekosongan itu justru memberi ruang bagi kebebasan untuk mencipta makna. Jika angka satu dan seterusnya merepresentasikan keberadaan konkret, nol merepresentasikan kondisi dasar sebelum eksistensi dibangun. Kekosongan pula lah yang menyangga seluruh keberadaan konkret di jagad raya ini. Dia juga melingkupi, mencakupi, dan meresapi segala sesuatu yang ada. Di dalam kekosongan lah benih listrik dan api tersembunyi. Di dalam kekosongan lah kisah hidup setiap mahluk ditulis, dan dalam lingkupan dan penyanggaan kekosongan pula kisah itu dilakonkan. Nol menjadi titik tolak: dari ketiadaan menuju keberadaan. Ia menandai potensi untuk menjadi apa saja, karena dari kekosongan lahirlah kemungkinan tak terbatas. Dalam hal ini, nol tidak bersifat nihilistik, melainkan potensi-eksistensial: ia memberi peluang bagi manusia untuk mengisi ruang kosong dengan pilihan, tindakan, dan makna.

Dari sudut spiritualisme, nol atau kekosongan sering diidentikkan dengan kesadaran tertinggi atau kesatuan kosmik. Dalam tradisi mistik Timur, kekosongan bukanlah “ketiadaan absolut” melainkan kondisi penuh potensi, sebuah wadah tak terbatas tempat seluruh realitas lahir. Konsep śūnyatā (kekosongan) dalam Buddhisme, misalnya, bukanlah kehampaan yang menakutkan, melainkan kebebasan dari keterikatan terhadap yang ada (Garfield, 1995). Di sisi lain, dalam spiritualitas modern, nol dipandang sebagai simbol keutuhan dan siklus: lingkaran tanpa awal dan akhir. Ia menggambarkan titik kembalinya segala sesuatu ke sumber asal, ke “kosong” yang melampaui dualitas ada dan tiada. Dengan demikian, nol berfungsi sebagai pengingat bahwa di balik hiruk-pikuk eksistensi, selalu ada ruang hening yang menopang keberadaan.

Pada akhirnya, nol bukan lah sekadar bilangan atau simbol matematis. Ia adalah wakil makna dari kekosongan, potensi, dan transendensi. Angka nol mengajarkan bahwa kekosongan bukanlah musuh keberadaan, melainkan rahim yang mengandung setiap janin potensi hingga ia lahir menjadi eksistensi. Kekosongan bukanlah akhir, melainkan awal dari kesadaran akan kesejatian keberadaan. Manusia, dalam pencariannya akan makna, sering kali harus melewati titik nol: titik di mana segala yang dikenalnya runtuh, dan ia berdiri sendiri di hadapan kekosongan. Di sana, mungkin ia tidak menemukan jawaban, tetapi menemukan dirinya.

Referensi:
• Garfield, J. L. (1995). The fundamental wisdom of the middle way: Nāgārjuna’s Mūlamadhyamakakārikā. Oxford University Press.
• Kaplan, R. (2000). The nothing that is: A natural history of zero. Oxford University Press.
• Lear, J. (1988). Aristotle: The desire to understand. Cambridge University Press.
• Sartre, J.-P. (1993). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Original work published 1943)
________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives" 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari berbagai sumber. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSINDONESIA.ID