Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 25 September 2025.
Waktu adalah pelukis yang tak pernah berhenti melukis wajah kita. Ia menggoreskan garis-garis halus di sudut mata, memudarkan warna rambut, menanggalkan gigi, dan memperlambat langkah. Namun di balik itu, ia juga menanam kebijaksanaan, menyulam kedalaman, dan membuka ruang refleksi yang tak dimiliki oleh masa muda. “Penuaan adalah proses biologis yang tak terhindarkan, namun kualitas hidup saat menua sangat ditentukan oleh kesiapan psikososial dan spiritual individu” (Santrock, 2021). Maka, menua bukan sekadar bertahan hidup, tetapi bagaimana kita hidup dengan guna, makna, cinta, martabat, dan keanggunan.
Penuaan pada awalnya ditandai dengan penurunan performa fisik. “Penurunan performa fisik rata-rata manusia dimulai secara bertahap sejak usia 30 tahun, terasa signifikansinya setelah usia 50, dan terjadi percepatan setelah usia 70 tahun” (Ganse et. al., 2018). Banyak orang yang menua dengan tubuh yang rapuh, pikiran yang kabur, emosi yang rentan, dan hati yang kesepian. “Penuaan yang disertai penyakit kronis dan isolasi sosial dapat mempercepat penurunan fungsi kognitif dan emosional” (WHO, 2022). Ketika tubuh tak lagi sekuat dulu, dan dunia terasa menjauh, banyak lansia terjebak dalam lingkaran kesendirian dan ketidakberdayaan. Namun, bukan usia yang sebenarnya menjadi akar penderitaan, melainkan pudarnya jalinan emosional, kegiatan, peran, rasa berguna, rasa bermakna, dan rasa berharga.
Sebaliknya, ada mereka yang menua dengan elegan. Mereka tetap aktif, kreatif, bergerak, berfikir, bersosialisasi, dan berkontribusi. “Menua dengan anggun (“aging gracefully”) adalah proses adaptif yang melibatkan pemahaman dan penerimaan diri, menjaga jalinan emosi dan sosialisasi, perawatan performa raga, pemeliharaan identitas professional dan karya” (Levy, 2020). Mereka tidak melawan usia, tetapi berdamai dengannya. Mereka tetap menjadi mentor, motivator, inspirator, penulis, pengajar, atau penasehat; bukan karena ingin terlihat muda, tetapi karena mereka tahu bahwa pengalaman adalah mata air yang tak pernah kering. Mereka hadir bukan untuk bersaing, tetapi untuk menyinari; bukan untuk mendominasi, tetapi untuk membimbing. Di usia yang telah matang, mereka tidak lagi berbicara dengan ambisi, melainkan dengan kebijaksanaan yang lahir dari luka, tawa, persinggahan, penantian, dan perjalanan panjang.
Menjadi tua secara profesional berarti tetap relevan tanpa harus bersaing dengan yang muda. “Memelihara peran aktif lansia dalam karya, dunia kerja, hobi, dan sosial kemasyarakatan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis dan memperlambat degenerasi mental” (BPS, 2023). Dengan teknologi, fleksibilitas kerja, dan ruang reflektif yang lebih luas, lansia dapat menjadi penjaga nilai, penutur sejarah, perawat nyala api cinta kasih, dan pengarah masa depan. Mereka tidak harus berada di garis depan, tetapi bisa menjadi cahaya di latar belakang layar. Tidak harus menjadi yang paling hebat, tapi untuk merawat rasa bernilai, berguna, dan bermartabat.
Kesimpulannya, menua secara profesional bukanlah mitos. Ia adalah pilihan sadar untuk tetap hidup dengan kontribusi, bukan sekadar eksistensi. “Kualitas penuaan sangat dipengaruhi oleh sikap terhadap diri sendiri dan lingkungan sosial yang mendukung” (Erikson, dalam Papalia, 2019). Maka, penting bagi masyarakat dan institusi untuk membuka ruang bagi lansia untuk tetap bergerak, berfikir, berdaya, dihargai, dan didengar.
Dan pada akhirnya, menua adalah perjalanan pulang; bukan pulang ke masa lalu, melainkan pulang ke kedalaman diri yang telah ditempa waktu. Pulang ke ruang batin yang lebih jernih, lebih bijak, dan lebih tenang; tempat di mana ambisi telah luruh menjadi pengertian, dan kegelisahan telah reda menjadi penerimaan. Menua bukan tentang kehilangan, melainkan tentang penemuan kembali: esensi yang selama ini tertutup oleh hiruk-pikuk pembuktian. Seperti daun yang menguning bukan karena ia mati, tetapi karena ia telah menjalani perannya secara paripurna; menari bersama angin, menyerap cahaya, berkontribusi pada pertumbuhan dan pembuahan, berbagi oksigen dan kesejukan, serta memberi keteduhan. Begitu pula usia: ia bukan akhir, tetapi puncak dari perjalanan yang telah dijalani dan dikontribusikan dengan penuh makna. Dalam keheningan senja usia, terdengar suara yang lebih dalam; suara jiwa yang tak lagi sibuk membuktikan, tetapi hadir untuk memahami dan mencintai. Di sanalah keanggunan sejati berdiam: bukan pada kulit yang kencang, tetapi pada hati yang lapang; bukan pada langkah yang cepat, tetapi pada tatapan yang memahami dari kedalaman hati.
Referensi:
• Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Kesejahteraan Lansia Indonesia. Jakarta: BPS.
• Ganse, B., Ganse, U., Dahl, J., & Degens, H. (2018). Linear decrease in athletic performance during the human life span. Frontiers in Physiology, 9, 1100.
• Levy, B. R. (2020). Successful Aging: A Neuroscientific Perspective. Yale University Press.
• Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2019). Human Development. McGraw-Hill Education.
• Santrock, J. W. (2021). Life-span Development. McGraw-Hill Education.
• World Health Organization. (2022). Ageing and Health. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/ageing-and-health
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari berbagai sumber. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header