Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 22 September 2025.
Manusia terlahir polos, telanjang, tanpa nama, tanpa gelar, tanpa benda. Ia hanya ada; seperti embun yang belum jatuh, seperti cahaya yang belum menyentuh permukaan. Namun kemudian sejak kecil, oleh orangtua, masyarakat, sistem pendidikan, ia diajari, di-install-i aplikasi untuk menjadi: menjadi pintar, menjadi kaya, menjadi sukses, menjadi somebody. Ia mengejar something; harta, gelar, pangkat dan jabatan, untuk membuktikan bahwa ia ada. Tapi semakin banyak yang dikumpulkan, semakin besar kekosongan yang dirasakannya. Ia mulai hidup dalam bayang-bayang pencapaian, menggantungkan harga dirinya pada benda, pada angka, pengakuan dan pujian. Setiap keberhasilan terasa seperti langkah menjauh dari dirinya yang sejati. Ia menjadi aktor dalam panggung sosial, mengenakan topeng-topeng peran yang tak pernah benar-benar pas untuk dirinya, yang membuat sesak nafas batinnya. Kompetisi eksistensi, perburuan validasi, gemerlap dan riuhnya dunia luar, membuat daya dengar telinga spiritualnya menurun drastis. Suara batinnya seolah menjadi semakin samar, semakin lirih, nyaris hilang tak terdengar. Meskipun dari waktu ke waktu selalu membisikkan pesan dan memberi panduan.
“Dalam eksistensialisme, manusia bukanlah apa-apa sampai ia memilih untuk menjadi sesuatu, namun pilihan itu sering kali membawa beban yang tak disadari” (Edelstein, 2023). Pilihan itu bukan sekadar tindakan, tetapi pernyataan eksistensi yang menuntut tanggung jawab penuh. Ketika seseorang memilih untuk menjadi, ia sekaligus menolak semua kemungkinan lain yang tidak dipilihnya. Di sanalah muncul kecemasan, karena setiap pilihan adalah penegasan sekaligus penghilangan. Maka, menjadi bukanlah proses yang ringan, melainkan pergulatan batin antara kebebasan dan konsekuensi. Dalam ruang itulah manusia menemukan dirinya: bukan sebagai hasil, tetapi sebagai proses yang terus berlangsung.
Dalam psikologi modern, pencarian identitas sering kali berujung pada kelelahan eksistensial. Ketika seseorang terlalu lama hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sosial, ia kehilangan kontak dengan dirinya sendiri. “Kelelahan psikologis muncul ketika individu terus-menerus berusaha menjadi versi ideal yang ditentukan oleh dunia luar” (Rowan, 2018). Maka, titik baliknya bukan pada pencapaian, tetapi pada pelepasan. Ketika manusia berhenti mengejar dan mulai menyelami, ia menemukan ruang batin yang selama ini terabaikan. Seperti dalam peribahasa Jawa, “Sing mandeg tumekan”, siapa yang berhenti sudah sampai; sampai di rumah abadinya, diri sejatinya.
Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa makna tidak selalu ditemukan dalam keberadaan, tetapi justru dalam ketiadaan. Heidegger menyebutnya sebagai Gelassenheit; sikap membiarkan segala sesuatu menjadi sebagaimana adanya. “Kita tidak perlu menjadi sesuatu untuk merasa utuh; kadang justru dengan menjadi bukan apa-apa, bukan siapa-siapa kita menemukan kedamaian” (Parsons, 2002) yang lapang, teduh, jernih, dan murni. Dalam wilayah nothingness, manusia tidak lagi terikat pada definisi maupun validasi, melainkan bebas untuk mengalami keberadaan secara murni.
Spiritualisme menempatkan kekosongan sebagai gerbang menuju kesadaran tertinggi. Dalam tradisi Zen, kekosongan bukanlah kehampaan, melainkan ruang penuh potensi. “Kesadaran spiritual tertinggi bukanlah tentang menambah, tetapi tentang melepaskan” (MayContainPhilosophy, 2025). Ketika manusia berhenti menjadi somebody dan melepaskan something, ia memasuki wilayah sunyi yang justru menghidupkan cahaya batinnya. Di sana, ia tidak lagi mencari makna, karena ia telah menjadi makna itu sendiri.
Kesimpulannya, perjalanan dari something menuju nothing bukanlah kemunduran, melainkan perluasan kesadaran, pelebaran ruang batin, pengosongan dari tumpukan alat-alat bantu kebahagiaan yang tak lagi diperlukan. Ia bukan tentang kehilangan, tetapi tentang menemukan. “Kita tidak menjadi utuh dengan menambah, tetapi dengan mengosongkan diri dari ilusi yang menutupi hakikat kita” (Rowan, 2018). Dalam dunia yang terus mendorong kita untuk menjadi lebih, barangkali kebijaksanaan sejati adalah berani menjadi kurang.
Dan di sinilah ruang refleksi itu terbuka. Bahwa dalam keheningan, dalam ketidakberartian yang kita peluk dengan takzim, kita menemukan diri yang paling jujur, paling murni. Kita bukan lagi bayangan dari harapan orang lain, bukan pula topeng sosial, bukan lagi angka simbol kepemilikan, bukan lagi gelar dalam kartu nama. Kita adalah kehadiran yang murni dan utuh dalam kekosongan, yang bernyali untuk menelanjangi diri di hadapan semesta. Dan mungkin, hanya dalam keberanian dan ketakziman untuk menjadi nobody, seperti saat awal hadir ke dunia, yang polos, telanjang, tanpa nama, tanpa gelar, tanpa benda, kita akan menemukan diri kita yang sebenarnya, yang sejati.
Referensi:
• Edelstein, B. (2023). The Value of Integrating Existentialism and Spirituality. Psychology Today.
• Rowan, J. (2018). Existentialism and Spirituality. Existential Analysis, 29(2).
• Parsons, T. (2002). Gelassenheit and the Letting-Be of Being. In Existential Thought and Technology.
• MayContainPhilosophy. (2025). Spiritual Existentialism: Key Concepts and Philosophical Tenets. https://maycontainphilosophy.com/spiritual-existentialism/
___________________________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
___________________________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari berbagai sumber. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header