Breaking News

Kasus OTT Oknum Wartawan: Publik Pertanyakan Transparansi, LIN Tegaskan Jangan Ada Tebang Pilih Hukum

 



www.jejakkasusindonesia.id

Pontianak – Kasus dugaan pemerasan yang menjerat seorang oknum wartawan berinisial EA kembali memantik sorotan publik. EA diamankan Polresta Pontianak melalui operasi tangkap tangan (OTT) setelah diduga meminta sejumlah uang kepada seorang pengusaha berinisial TH.


Sekilas, penangkapan ini terlihat seperti OTT pada umumnya. Namun, terdapat kejanggalan yang tak bisa diabaikan. Polisi hanya menahan EA, sementara TH yang disebut sebagai pemberi uang justru tidak ikut diamankan. Padahal, dalam filosofi hukum OTT, pemberi dan penerima seharusnya sama-sama diperiksa untuk memastikan keadilan berjalan seimbang.


Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor, Pasal 5 ayat (1) dan (2) menegaskan bahwa pemberi maupun penerima suap sama-sama dapat dipidana. Artinya, sulit diterima akal sehat jika hanya penerima yang diproses hukum, sementara pemberi tidak disentuh.


Publik pun mulai bertanya-tanya: mengapa hanya wartawan yang ditahan? Apakah pengusaha kebal hukum? Ataukah ada cerita tersembunyi yang sengaja ditutup rapat dari ruang publik? Pertanyaan ini semakin kuat ketika EA menyebut bahwa jadwal, waktu, dan tempat pertemuan justru diatur oleh pihak pengusaha. Fakta tersebut memunculkan dugaan adanya entrapment atau jebakan hukum.


Ketidakjelasan ini membuat kasus EA bukan sekadar perkara pidana biasa. Ia kini berkembang menjadi isu yang menyentuh kredibilitas aparat penegak hukum. Sebab, tidak mungkin ada penerima uang tanpa pihak yang memberi. Transparansi aparat mutlak dibutuhkan agar publik tidak menilai hukum hanya dijalankan setengah hati.


Lebih jauh, penelusuran media di lapangan juga menemukan kejanggalan lain. Sawmill yang disebut terkait kasus ini justru tersembunyi di balik papan nama besar PT Aneka Sarana Depo di Jalan 28 Oktober. Alih-alih terlihat aktivitas sawmill, lokasi depan beroperasi sebagai toko bahan bangunan. Seorang karyawan bahkan menyebut, dokumen legalitas sawmill lebih baik ditanyakan langsung ke Polresta, seolah mengisyaratkan aparat telah mengantongi bukti.


Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa hukum masih tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jika hanya satu pihak yang dikorbankan, wajar bila publik curiga ada perlakuan istimewa terhadap pihak tertentu. Apalagi, jika benar terdapat rekayasa pertemuan yang menjebak wartawan, maka kasus ini berpotensi merusak asas geen straf zonder schuld—tidak ada pidana tanpa kesalahan.


Masyarakat kini mendesak Polresta Pontianak untuk menjelaskan secara terbuka dasar penanganan kasus ini. Transparansi menjadi kunci menjaga kepercayaan publik terhadap kepolisian. Pertanyaannya sederhana namun tajam: apakah aparat berani membuka kasus ini seterang-terangnya, ataukah tragedi EA akan berakhir menjadi potret buram penegakan hukum yang timpang dan penuh tanda tanya?


Menanggapi hal tersebut, Ketua DPC Lembaga Investigasi Negara (LIN) Kota Pontianak, Nurjali, S.Pd.I, menegaskan bahwa penegakan hukum tidak boleh tebang pilih. “Jika memang benar ada praktik pemerasan, tentu harus diproses sesuai hukum. Tetapi jangan hanya berhenti pada penerima, sementara pemberi dibiarkan bebas. Aparat harus menjunjung asas keadilan, karena pemberi dan penerima sama-sama memiliki konsekuensi hukum. Jangan sampai masyarakat melihat hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas,” tegasnya. Sumber Ketua DPC LIN Kubu Raya,"tegasnya.

(Nuryo Sutomo) 


© Copyright 2022 - JEJAKKASUSINDONESIA.ID