https://www.jejakkasusindonesia.id
Pontianak_Kalbar -- Selasa 8 Juli 2025
(Tim Pakar Alumni Lemhanas Republik Indonesia Kalimantan Barat, Staf ahli Khusus DPD RI Senator Syarif Melvin AlKadrie SH Provinsi Kalimantan Barat, Menteri Dalam Negeri Kesultanan Kadriyah Pontianak, Peneliti Sejarah Hukum)
Peraturan pemerintah yang mengatur tentang penegasan batas daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah. Permendagri ini menetapkan pedoman teknis dan prosedur dalam penegasan batas daerah untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan dan memberikan kepastian hukum.
Penjelasan lebih lanjut:
Permendagri Nomor 76 Tahun 2012: mengatur secara umum pedoman penegasan batas daerah, termasuk pembentukan Tim Penegasan Batas Daerah (TPBD) baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.
Permendagri Nomor 141 Tahun 2017: lebih rinci mengatur tentang teknis pelaksanaan penegasan batas daerah, seperti penggunaan metode kartometrik, penetapan titik koordinat batas, serta penanganan permasalahan batas di lapangan.
Penegasan batas daerah ini bertujuan untuk:
Menciptakan tertib administrasi pemerintahan.
Memberikan kejelasan dan kepastian hukum mengenai batas wilayah.
Mencegah terjadinya sengketa batas daerah di kemudian hari.
Pelaksanaan penegasan batas daerah: melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, serta tim teknis yang dibentuk untuk melakukan pemetaan dan verifikasi batas.
Dalam pelaksanaannya, penegasan batas daerah dapat dilakukan secara kartometrik (berdasarkan peta) dan/atau secara teknis di lapangan dengan pemasangan pilar batas.
Pentingnya penegasan batas daerah: juga mencakup aspek pertahanan, keamanan, sosial, ekonomi, dan budaya, serta menjadi dasar dalam berbagai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.
Dengan demikian, Permendagri Nomor 76 Tahun 2012 dan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 menjadi acuan utama dalam penegasan batas daerah di Indonesia.
Analisis Pasal 6 dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah
Pasal 6
(1) Penegasan batas daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dilakukan terhadap batas daerah antar:
a. provinsi dengan provinsi;
b. kabupaten dengan kabupaten; dan
c. kota dengan kota.
(2) Penegasan batas daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
a. hasil kesepakatan antara pemerintah daerah yang berbatasan;
b. dokumen hukum dan/atau peta batas; dan/atau
c. hasil pengukuran atau survei di lapangan.
(3) Dalam hal terdapat ketidaksesuaian antara dokumen hukum, peta batas, dan kondisi lapangan, dilakukan penyesuaian melalui musyawarah yang difasilitasi oleh Menteri.
(4) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dapat menetapkan batas daerah berdasarkan dokumen hukum dan/atau pertimbangan teknis dari Badan Informasi Geospasial.
Penjelasan Singkat:
Pasal 6 menjelaskan prosedur penegasan batas wilayah administratif, mulai dari:
Proses berdasar kesepakatan antar daerah,
Pemanfaatan dokumen dan survei lapangan,
Penanganan jika terjadi sengketa atau ketidaksesuaian antara dokumen dan kondisi faktual,
Kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk memutuskan jika tidak ada kesepakatan.
Yang dimaksud dengan "hasil kesepakatan antara pemerintah daerah yang berbatasan" dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a Permendagri Nomor 141 Tahun 2017, adalah:
Dokumen tertulis yang memuat persetujuan bersama antara dua atau lebih pemerintah daerah yang berbatasan, mengenai letak dan garis batas wilayah administrasi masing-masing, yang ditandatangani oleh kepala daerah atau pejabat yang mewakili.
Penjelasan Kontekstual:
Kesepakatan ini merupakan langkah awal dan ideal dalam proses penegasan batas daerah. Proses ini dilakukan melalui:
1. Rapat/musyawarah antar pemerintah daerah yang bersengketa atau berbatasan langsung (misalnya antara Bupati A dan Bupati B),
2. Pembahasan dokumen historis, seperti:
Peta topografi lama (Risalah TGHK, Stabblad),
Surat keputusan kolonial atau Ordonansi lama,
Undang-undang pembentukan daerah.
3. Survey lapangan bersama (delimitasi dan demarkasi) bila diperlukan, dengan melibatkan:
Dinas teknis pemda,Badan Informasi Geospasial (BIG),Tim teknis Kementerian Dalam Negeri.
4. Penandatanganan Berita Acara Kesepakatan Batas Daerah, yang berisi:
Titik koordinat batas,Referensi peta dasar,Penempatan tanda batas (tugu batas), Kesepakatan tidak saling klaim atas wilayah.
Contoh Dokumen Hasil Kesepakatan:
Berita Acara Kesepakatan Penegasan Batas Daerah antara Kabupaten A dan Kabupaten B,Dilengkapi dengan lampiran peta digital (shapefile), tabel koordinat, dan notulen rapat.
Pentingnya Kesepakatan Ini: Sebagai landasan yuridis bagi Menteri Dalam Negeri untuk menetapkan batas secara formal dalam bentuk Permendagri Penetapan Batas. Untuk menghindari konflik tapal batas (misalnya sengketa Pulau Pengikik, batas Kalbar–Kepulauan Riau). Sebagai syarat validasi dokumen batas untuk keperluan administrasi: pemilu, pajak daerah, izin lokasi, pengawasan wilayah hukum, dll
Bisakah Perjanjian Penaklukan Sultan terhadap teritorial maritimnya untuk penegasan awal batas daerah otonom Kabupaten dan atau Provinsi ??
Seperti. "Contract met den Sulthan van Lingga, Riouw en Onderhoorigheden, dd. 1 December 1857"
(Kontrak dengan Sultan Lingga, Riau dan Daerah Taklukan tertanggal 1 Desember 1857)
Dokumen ini adalah dokumen perjanjian bilateral kolonial antara Pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Lingga-Riau.
Apakah sah dijadikan dasar batas wilayah sebagai dokumen historis?
Jawaban: bisa tetapi dengan ketentuan dan analisis hukum sebagai berikut:
1. Kategori Dokumen Hukum Historis Kolonial
Berdasarkan Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, dokumen seperti ini tergolong sebagai:
“Dokumen historis” atau “dokumen hukum lama”,
Digunakan sebagai referensi dalam penentuan batas administratif modern, terutama ketika batas daerah masih belum ditetapkan secara teknis.
> Pasal 6 ayat (2) huruf b:
Penegasan batas dilakukan berdasarkan dokumen hukum dan/atau peta batas;
2. Sah sebagai referensi sejarah yuridis
Kontrak 1857 ini:
Merupakan dokumen perjanjian resmi antara pihak berdaulat (Sultan Lingga dan Pemerintah Kolonial Belanda), Menyebutkan yurisdiksi dan otoritas wilayah Sultan Lingga-Riau, yang dapat digunakan untuk menelusuri batas kekuasaan sebelum Indonesia merdeka, Telah diakui oleh Kabinet St. James (Inggris) melalui notifikasi diplomatik (depesche 24 April 1866).
3. Penting untuk penelusuran wilayah sengketa historis
Dokumen seperti ini sangat penting ketika: Terjadi sengketa batas wilayah seperti antara Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau (contoh: Pulau Pengikik, Pulau Bidae, Pulau Datok), Pertanyaan sangat mendasar secara sejarah hukum ? Apakah Daerah tersebut pernah berada dalam wilayah pengaruh Sultan Lingga atau malah fakta sejarah hukumnya adalah wilayah hukum maritim Keresidenan Pontianak (Afdeeling Westerafdeeling van Borneo), atau kemudian bergabung ke Daerah Istimewa Kalimantan Barat, dan kemudian ditegaskan dalam protokol 21 Desember 1949, sebagai lampiran Pengakuan dan Penyerahan kedaulatan.
Ada ketidaksesuaian antara dokumen hukum modern dan kondisi administratif saat ini.
Catatan Akademik & Hukum:
Dokumen ini harus di-cross-check dengan peta kolonial resmi, seperti:
Peta Geografis Belanda (Topografische Dienst),Staatblad,Memorie van Overgave,Arsip Binnenlandsch Bestuur atau Residen Pontianak. (Peta peta kuno Van Borneo Kalimantan yang paling terakhir 1848.
Penggunaan dokumen ini diperkuat jika diperbandingkan dengan dokumen/dokumen perjanjian lainnya, seperti: Kontrak Kesultanan Pontianak dengan Belanda, Batas administratif Karesidenan Kalimantan Barat, 1938.
Kesimpulan: Kontrak 1857 antara Belanda dan Sultan Lingga merupakan dokumen hukum historis yang bisa sah dijadikan dasar atau bukti awal dalam proses penegasan batas wilayah administratif, khususnya bila: Tidak ada dokumen yang lebih baru atau teknis,Digunakan sebagai alat bantu sejarah hukum wilayah dalam penyusunan batas daerah modern, disandingkan dengan peta, tugu batas, dan/atau kesepakatan antardaerah saat ini.
Yang perlu dianalisis secara historis yuridis, tidak menjadi wilayah warisan Kesultanan Lingga, melainkan antara batas itu di bawah wilayah maritim Keresidenan Pontianak. Sebaliknya, jika termasuk, maka perlu pembandingan dengan dokumen lain seperti:
Kontrak 1779, 1823, 1826 dan 1855 antara Sultan Pontianak dan Pemerintah Hindia Belanda, Risalah Keresidenan Westerafdeeling van Borneo, dan Peta topografi militer Belanda (1900–1942) sampai dengan tahun 1948 menjelang pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 yang sudah ditegaskan di protokol 21 Desember 1949.
Berdasarkan analisis Kategorisasi hukum dengan pendekatan sejarah hukum, bukti historis, maka untuk memperkuat posisi hukum dalam konflik batas wilayah:
1. Rekonstruksi sejarah wilayah melalui kontrak kolonial kedua belah pihak (Pontianak dan Lingga),
2. Bandingkan peta kolonial (topografis & administratif),
3. Lakukan verifikasi lapangan dan kesepakatan antar-pemda,
4. Konsultasi dengan Kemendagri & BIG untuk validasi data koordinat batas.
Jika kita analisis klarifikasi hukum secara silang dokumen antara:
1. Contract 1857 antara Belanda dan Sultan Lingga-Riau, dan
2. Dokumen perjanjian kolonial antara Kesultanan Pontianak dan Pemerintah Hindia Belanda, khususnya yang berkaitan dengan yurisdiksi wilayah seperti Pulau Pengikik dan wilayah pesisir Kalimantan Barat.
ANALISIS SILANG KONTRAK KOLONIAL:
1. Contract 1 Desember 1857 – Sultan Lingga-Riau
Isi penting: Menegaskan wilayah kekuasaan Sultan Lingga, termasuk "onderhoorigheden" (daerah taklukan), Tidak secara eksplisit mencantumkan Pulau Pengikik, Bidae, atau pesisir barat Kalimantan, Bersifat maritim, cenderung berfokus pada gugus pulau di sekitar Lingga, Natuna, dan pesisir timur Sumatra bagian selatan.
Bandingkan dengan Catatan bukti sejarah hukum Wilayah Kalimantan Barat (Westerafdeeling van Borneo) bukan bagian dari bawahannya, dan tidak disebut dalam lampiran kontrak ini.
2. Analisis Verifikasi hukum terhadap Dokumen Kesultanan Pontianak dengan Pemerintah Belanda
Bersumber dari: Kontrak 1779 (23 Oktober): Antara Sultan Syarif Abdurrahman dan VOC, memberikan pengakuan atas wilayah Kubu, Mempawah, pesisir Sungai Kapuas, dan pulau-pulau di delta barat laut Kalimantan.
Staatblad 1888 dan 1924, serta Risalah Residen Pontianak, menyebutkan: Pulau-pulau kecil di sekitar muara Sungai Kapuas, termasuk Pengikik, Datok, Serasan, Bidae, berada dalam yurisdiksi Westerafdeeling van Borneo (Keresidenan Kalimantan Barat). Dokumen Afdeeling Ketapang dan Sambas menyatakan batas wilayah barat laut Kalimantan hingga laut Natuna berada dalam pengawasan residen Belanda di Kalbar.
PETA DAN RISALAH PENDUKUNG:
1. Topographische Kaart (Tropenmuseum Amsterdam, 1894–1930) dan peta peta kuno Borneo Atau Kalimantan terakhir 1884.Memasukkan Pulau Pengikik dan sekitarnya ke dalam wilayah administrasi Pontianak, yang kelak bergabung ke dalam Daerah Istimewa Kalimantan Barat DIKB, lihat dokumen hukum internasional Protokol 21Desember 1949 sebagai lampiran Dokumen Pengakuan dan penyerahan kedaulatan 27Desember 1949, bahwa Daerah istimewa Kalimantan Barat dan juga daerah Riau terikat dengan dokumen hukum internasional dan dokumen tersebut adalah penegasan awal batas daerah otonom berdasarkan dokumen sejarah hukum.
2. Memorie van Overgave Residen Pontianak (1908, 1930, 1941): Menyebutkan pulau-pulau sebagai bagian dari pos administratif Kalbar. lihat peta peta kuno wilayah maritim Kalimantan terlampir.
3. Risalah Gubernur Kalimantan No. 186/OPB/92/14 Tahun 1950: Termasuk wilayah-wilayah itu dalam struktur Kalimantan Barat yang kemudian menjadi wilayah administratif provinsi Kalimantan Barat berdasarkan asas kontinuitas wilayah hukum DIKB yaitu wilayah wilayah kerajaan , Swapraja dan Neo Swapraja yang bergabung dalam DIKB .
Khusus Kalimantan Barat berstatus “Meinseibu Syuu”. Sebelum pemulihan kedaulatan, para Raja atau Sultan di Bumi Khatulistiwa (dengan kode area 0561, yang secara filosofis bermakna “bersihkan dirimu dengan Rukun Islam dan Rukun Iman dan kembali ke Tauhid” menurut ulama atau wali Allah) mencatat “tinta emas”. Semangat inilah yang melahirkan Keputusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 Nomor 20 L. Keputusan ini membagi wilayah menjadi 12 Swapraja dan 3 Neo-Swapraja:
Swapraja: Sambas, Pontianak, Mempawah, Landak, Kubu, Matan, Sukadana, Simpang, Sanggau, Sekadau, Tayan, Sintang.
Neo-Swapraja: Meliau, Nanga Pinoh, Kapuas Hulu.
Keputusan para Raja atau Sultan di Kalimantan Barat tersebut kemudian membentuk ikatan federasi bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Keputusan ini disahkan secara hukum oleh Residen Kalimantan Barat melalui surat keputusan tanggal 10 Mei 1948 Nomor 161. Pada tahun yang sama, keluar Besluit Luitenant Gouverneur Jenderal tanggal 2 Mei 1948 Nomor 8 (Staatblad Lembaran Negara 1948/58) yang mengakui Kalimantan Barat sebagai Daerah Istimewa dengan Pemerintahan Sendiri beserta sebuah “Dewan Kalimantan Barat.”
DIKB Bukan Bentukan Belanda: Peran Sultan Hamid II
Berdasarkan rangkaian ketatanegaraan di atas, adalah tidak benar bahwa DIKB merupakan bentukan Pemerintah Belanda, seperti yang ditulis oleh beberapa sejarawan. Mengapa para Raja atau Sultan di Borneo Barat bergabung ke dalam DIKB? Karena Kalimantan Barat merasa tidak ikut dalam Perjanjian Renville. Pada masa itu, jika Kalimantan Barat ingin membentuk negara di luar RI, sebenarnya bisa saja. Bahkan, Sultan Hamid II pernah ditawari oleh Kerajaan Sarawak, Kuching, Malaysia Timur, namun beliau menolak. Inilah semangat nasionalisme Sultan Hamid II yang kerap tidak terungkap dalam sejarah negara ini, serupa dengan sumbangsihnya dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 dan sebagai Perancang Lambang Negara RI pada tahun 1950.
Dalam KMB, Sultan Hamid II sebagai wakil BFO dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Republik Proklamasi 17 Agustus 1945 Yogyakarta bersepakat membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Pertanyaan bagi para sejarawan: jika Sultan Hamid II tidak menandatangani hasil KMB di Den Haag, apakah Belanda secara hukum internasional akan mengakui kedaulatan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diwakili Mohammad Hatta? Mengapa jasa Sultan Hamid II sebagai “strategis politis” tidak diangkat, di mana secara tidak langsung Pemerintah Belanda sebagai penjajah mengakui secara yuridis Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diwakili Mohammad Hatta? Inilah fakta objektif secara hukum ketatanegaraan mengenai DIKB.
Secara objektif, DIKB dalam Konstitusi RIS 1949 Pasal 1 dan penjelasannya jelas dinyatakan sebagai Daerah Bagian, bukan negara bagian. Menurut penjelasan Konstitusi RIS 1949, DIKB termasuk dalam perumusan satuan-satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, seperti Dayak Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Banjar. Jadi, secara yuridis ketatanegaraan, DIKB bukan negara bagian, tetapi Satuan Kenegaraan yang berdiri sendiri yang merupakan Daerah Bagian RIS. Ini setara dengan Negara Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 yang berkedudukan ibu kotanya di Yogyakarta. Fakta ini jarang diangkat secara objektif dalam penulisan sejarah DIKB yang digagas secara brilian oleh para leluhur Raja atau Sultan di Borneo Barat atau Kalimantan Barat.
DIKB Tidak Pernah Dibubarkan Secara Hukum Tata Negara
Secara Hukum Tata Negara, DIKB tidak pernah dibubarkan. Jika pada saat itu ada demonstrasi di Pontianak terhadap Sultan Hamid II yang berujung pada pembubaran DIKB, secara yuridis ketatanegaraan, hal itu adalah “kebohongan sejarah”. Demonstrasi yang dimotori oleh anak-anak muda, salah satunya almarhum Ibrahim Saleh, terjadi karena perbedaan visi dan tingkat pendidikan, serta kurangnya pemahaman mengapa para Raja atau Sultan di Borneo Barat sepakat mendirikan DIKB.
Pembentukan DIKB ini didukung oleh Sultan Hamid II, yang berkedudukan sebagai Raja Kesultanan Pontianak (1945–1976) dan saat itu sebagai Gubernur DIKB. Berbagai kesultanan di Kalimantan Barat hingga kini masih eksis dan didukung oleh tokoh adat serta masyarakat. Para Raja atau Sultan memiliki pandangan visioner ke depan, dan manfaatnya baru kita rasakan sekarang. Bukti pemekaran beberapa kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat, salah satu proposalnya, menyatakan bahwa daerah tersebut adalah bekas Swapraja atau Neo-Swapraja sebagai faktor historis, yang notabene adalah bekas wilayah DIKB. Fakta hukum objektif ini belum pernah diangkat oleh sejarawan.
Alasan para demonstran terhadap Sultan Hamid II saat berkunjung ke Pontianak adalah karena Sultan Hamid II beristrikan wanita Belanda (keponakan Wilhelmina), dan DIKB dianggap sebagai sisa peninggalan pemerintahan Belanda. Pertanyaan bagi sejarawan hukum tata negara: apakah secara yuridis DIKB, yang didirikan oleh para Raja atau Sultan di Kalimantan Barat berdasarkan Keputusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 Nomor 20 L (dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo-Swapraja) dan diakui secara konstitusional pada Pasal 1 Konstitusi RIS 1949, adalah sisa peninggalan pemerintahan Belanda? Adalah naif jika dipahami oleh sejarawan tanpa analisis pendekatan Sejarah Hukum Ketatanegaraan Pemerintahan berdasarkan fakta hukum yang dikonstruksi secara objektif tentang DIKB.
Secara objektif, desakan demonstrasi kepada Sultan Hamid II untuk membubarkan DIKB terjadi karena perbedaan visi antara kaum muda yang dimotori kepentingan politis dan tidak mengerti pandangan para Raja atau Sultan saat itu, serta pandangan Sultan Hamid II tentang maksud pendirian DIKB. Bacalah secara lengkap Pledoi Sultan Hamid II pada Sidang Mahkamah Agung tanggal 23 Maret 1953. Mengapa pandangan Sultan Hamid II terhadap maksud pendirian DIKB tidak diangkat ke permukaan oleh sejarawan? Tulislah sejarah secara objektif dengan fakta historis yuridis jika mengangkat sejarah Tata Pemerintahan yang berkaitan dengan DIKB. Bangunlah fakta sejarah dengan konstruksi sejarah hukum melalui analisis objektif.
Apakah DIKB “Pernah Bubar” Secara Hukum Tata Negara?
Untuk mengatasi “titik krusial” desakan tersebut, berdasarkan Keputusan Dewan Kalimantan Barat tanggal 7 Mei 1950, Nomor 234/R dan 235, baik Badan Pemerintahan Harian DIKB maupun pejabat Kepala Daerah DIKB menyerahkan wewenangnya kepada Pemerintah Pusat RIS yang diwakili oleh seorang Pejabat berpangkat Residen. Jadi, tidak ada pembubaran oleh Dewan Kalimantan Barat terhadap status hukum DIKB, karena DIKB secara konstitusional diakui secara hukum ketatanegaraan berdasarkan Pasal 1 Konstitusi RIS 1949.
Selanjutnya, untuk menampung hal ini, Menteri Dalam Negeri RIS dengan Surat Keputusan 24 Mei 1950 Nomor B. Z 17/2/47 menetapkan bahwa hak-hak dan kewajiban pemerintahan yang diserahkan tersebut untuk sementara dijalankan oleh seorang Residen Kalimantan Barat yang berkedudukan di Pontianak, berdasarkan Pasal 54 Konstitusi RIS. Jadi, status hukum DIKB belum bubar, hanya diambil alih oleh Residen Kalimantan Barat berdasarkan Konstitusi RIS Pasal 54
KESIMPULAN HUKUM DAN HISTORIS
Pulau Pengikik, Datok, dan pulau-pulau kecil di wilayah barat laut Kalimantan Barat secara historis dan yuridis lebih dekat dengan Kesultanan Pontianak dan Keresidenan Kalbar daripada Kesultanan Lingga-Riau. Maka, klaim administratif Kepulauan Riau atas pulau-pulau tersebut lemah secara historis, karena:
Tidak didasarkan pada perjanjian hukum kolonial yang menyebutkan wilayah tersebut,
Tidak pernah menjadi bagian dari onderhoorigheden daerah penaklukan Kesultanan Lingga menurut dokumen 1857, karena hanya dokumen historis perjanjian penaklukan, bukan penegasan batas awal pulau pengikit, baca historis dari sumber valid berikut ini :
Kerajaan Riau Lingga adalah sebuah kerajaan Islam di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1828 M hingga 1911 M. Kerajaan ini mencapai puncak keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV, memerintah dari tahun 1857 hingga 1883 M.Wilayahnya meliputi Provinsi Kepulauan Riau sekarang, tetapi tidak termasuk Provinsi Riau yang didominasi oleh Kerajaan Siak yang sebelumnya telah memisahkan diri dari Kerajaan Johor-Riau.
Kerajaan Riau Lingga memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang sebagai bahasa Indonesia. Pada masa Kerajaan Riau Lingga, bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia, yang kaya dengan sastra dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-Bugis. Sebelumnya Riau Lingga merupakan wilayah dari Kerajaan Johor-Riau atau juga dikenal Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga yang berdiri sekitar tahun 1528-1824 M yang merupakan penerusan dari Kerajaan Malaka, terbentuknya Kerajaan Riau Lingga diakibatkan perebutan kekuasaan antara kedua putra Raja Johor-Riau dan pengaruh Belanda-Inggris, pada tahun 1824 Belanda dan Inggris menyetujui Perjanjian Traktat London, yang isinya bahwa semenanjung Malaya merupakan dalam pengaruh Inggris dan Sumatra serta pulau-pulau disekitarnya merupakan dalam pengaruh Belanda. Hal ini memperparah situasi Kerajaan Johor-Riau, dan akhirnya pada tahun 1824 Kerajaan Johor-Riau terbagi menjadi 2 Kerajaan, Kerajaan Johor dengan raja pertamanya Tengku Hussain bergelar Sultan Hussain Syah (1819-1835) putra tertua Sultan Mahmud Syah lll Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl (1761-1812), sedangkan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan besar Johor Pahang Riau Lingga ke XVll yang merupakan adik Tengku Hussain, menjadi Sultan pertama Kerajaan Riau Lingga bergelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke l (1812-1832).
Sesudah Malaka sebagai ibu kota kerajaan Malaka diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque pada tanggal 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511, Sultan Mahmud Syah (Sultan terakhir Malaka dan Sultan pertama Johor-Riau) beserta pengikutnya melarikan diri ke Johor, kemudian ke Bintan dan mendirikan ibukota baru. Tetapi pada tahun 1526 Portugis berhasil membumihanguskan Bintan, dan Sultan Mahmud Syah kemudian mundur ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian dan digelar Marhum Kampar, kemudian digantikan oleh putranya bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II sebagai Sultan Johor-Riau ke ll. Putra Sultan Mahmud Syah yang lainnya Muzaffar Syah, kemudian menjadi Sultan Perak.
Pada puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakup wilayah Johor sekarang, Pahang, Selangor, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi. Kerajaan Johor-Riau mulai mengalami kemunduran pada tahun 1812 setelah wafatnya Sultan Mahmud Syah lll Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl, hal ini disebabkan oleh perebutan kekuasaan antara dua putra sultan, Yaitu Tengku Hussain/ Tengku Long dan Tengku Abdul Rahman. Ketika putra tertua Sultan Mahmud Syah lll yaitu Tengku Hussain/Tengku Long sedang berada di Pahang, dengan tidak diduga pada tanggal 12 januari 1812 Sultan Mahmud Syah lll mangkat. Menurut adat istiadat di Istana, seseorang pangeran Raja hanya bisa menjadi Sultan sekiranya dia berada di samping Sultan ketika mangkat, oleh karena itu Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVll meneruskan Sultan Mahmud Syah lll menggantikan saudara tertuanya Tengku Hussain/Tengku Long yang ketika Sultan Mahmud Syah mangkat dan dimakamkan di Daik Lingga, Tengku Hussain masih berada di Pahang. Sekembalinya Tengku Hussain dari Pahang menuntut haknya sebagai putra tertua untuk menjadi Sultan menggantikan Sultan Mahmud Syah lll. Tengku Hussain merasa lebih berhak menjadi Sultan, daripada adiknya Tengku Abdul Rahman. Sebelum meninggal Sultan Mahmud Syah lll pernah berwasiat, yaitu menunjuk Tengku Hussain/Tengku Long sebagai Sultan Johor-Riau dan Tengku Abdul Rahman, agar berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji.
Berdasarkan wasiat Sultan mahmud Syah lll, Tengku Hussain tetap menuntut haknya. Sedangkan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah tetap mengikuti adat dan istiadat Pelantikan Sultan. Pengganti Sultan, yaitu Tengku Hussain harus hadir ketika upacara pemakaman dijalankan, lagipula tidak boleh ditangguhkan lebih lama lagi, namun Tengku Hussain masih tidak ada di tempat, oleh karena itu Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi pengganti Sultan Mahmud Syah lll.
Dalam sengketa yang timbul, Inggris mendukung putra tertua Tengku Hussain, sedangkan Belanda mendukung Sultan Abdul Rahman. Traktat London yang telah disepakati Belanda-Inggris pada tahun 1824, yang menyatakan bahwa Semenanjung Malaya dibawah pengaruh Inggris dan Sumatera dibawah pengaruh Belanda, hal ini mengakibatkan Kerajaan Johor-Riau terpecah menjadi dua, yaitu Johor berada di bawah pengaruh Inggris dan Tengku Hussain sebagai Sultan pertama Kerajaan Johor bergelar Sultan Hussain Syah (1819-1835) dan berkedudukan di Singapura, sedangkan Riau Lingga berada di dalam pengaruh Belanda, dan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ditabalkan menjadi Sultan Kerajaan Riau Lingga dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke I, dan berkedudukan di Daik Lingga.
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll adalah putra almarhum Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah dengan permaisurinya Cek Nora (keturunan Belanda). Memerintah di Daik Lingga pada tahun 1857 hingga 1883. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Riau Lingga mencapai puncak kejayaannya, Yang Dipertuan Muda saat itu adalah Yamtuan lX Raja Haji Abdullah (1857-1858). Memerintah di pulau Penyengat. Dilantik oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV, dan Yamtuan X Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi (1858-1899) juga Memerintah di pulau Penyengat, digelar Marhum Damnah, mangkat di Daik Lingga dan pada masa pemerintahan Tengku Embung Fatimah (1883-1885) menggantikan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll, Daik Lingga semakin berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan dengan banyaknya pendatang-pendatang dari Sulawesi, Kalimantan, Siak, Pahang, Bangka, Belitung, Cina, Padang dan sebagainya ke Daik. Keadaan ini menyebabkan Belanda kuatir jika Kerajaan Riau Lingga menyusun kekuatan baru untuk menantang Belanda, oleh karena itu Belanda menetapkan Asisten Residen di Tanjung Buton (sebuah pelabuhan berhadapan dengan pulau Mepar, sekitar 6 Km dari pusat Kerajaan Riau Lingga).
Pada tanggal 18 Mei 1905 Belanda membuat perjanjian baru yang antara lain berisikan bahwa Belanda membatasi kekuasaan Kerajaan Riau Lingga dan mewajibkan Bendera Belanda harus dipasangkan lebih tinggi daripada Bendera Kerajaan Riau Lingga. Perjanjian ini dibuat Karena Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke Vl (1885-1911) saat itu terang-terangan menantang Belanda.
Belanda memaksa Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll untuk menandatangani perjanjian tersebut, tetapi atas mufakat pembesar-pembesar Kerajaan seperti Engku Kelana, Raja Ali, Raja Hitam dan beberapa kerabat Sultan, maka Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll menolak menandatangani perjanjian tersebut. Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll membuat persiapan dengan membentuk Pasukan dibawah pimpinan Putra Mahkota, yaitu Tengku Umar/Tengku Besar. Sikap tegas Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll dan pembesar Kerajaan menantang Belanda menimbulkan amarah Belanda, maka pada bulan Febuari 1911, kapal-kapal Belanda mendekati pulau Penyengat pada pagi hari dan menurunkan ratusan orang serdadu untuk mengepung Istana dan datang Kontlir H.N Voematra dari Tanjung Pinang mengumumkan pemakzulan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll. Atas pertimbangan agar tidak terbunuhnya rakyat di pulau Penyengat, maka Sultan Abdul Rahman Syah ll beserta pembesar-pembesar Kerajaan Riau Lingga tidak melakukan perlawanan. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Riau Lingga dan dimulailah kekuasaan Belanda di Riau Lingga. Pada tahun 1913 Belanda resmi memerintah langsung di Riau Lingga.
Berdasarkan fakta sejarah hukum maka dapat dilakukan analisis konstitusional dan hukum tata negara yang sangat strategis, yakni dengan membandingkan:
1. Wilayah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dalam Protokol Penyerahan Kedaulatan 27 Desember 1949 (hasil KMB),
2. Dengan wilayah yang diatur dalam dokumen kolonial 1857 (Contract antara Belanda dan Sultan Lingga-Riau), dan
3. Dihubungkan dengan Permendagri No. 141 Tahun 2017 sebagai aturan positif saat ini dalam penegasan batas wilayah administratif.
A. Dokumen Protokol 27 Desember 1949 (KMB)
Dalam dokumen ini disebutkan:
> "...telah diterima oleh:
[...]
Daerah Istimewa Kalimantan Barat
[...]"
Ini menunjukkan bahwa:
DIKB merupakan entitas kenegaraan hasil dari proses politik-federalistik Konferensi Meja Bundar (KMB), Wilayah DIKB diterima dan diakui sebagai bagian resmi dari Republik Indonesia Serikat (RIS) pasca-penyerahan kedaulatan, Daerah ini berdiri sejajar dengan Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan daerah-daerah lainnya, lihat Dokumen hukum Internasional 21 Desember 1949 dan dokumen Pengakuan kedaulatan, penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, oleh karena itu secara hukum tata negara dan hukum internasional serta hukum administrasi negara, maka, wilayah DIKB adalah dasar hukum awal dari Provinsi Kalimantan Barat hari ini, sekaligus penegasan awal batas daerah berdasarkan peta peta kuno borneo , Kalimantan Barat 1848 dan peta militer 1948 , perhatikan wilayah hukum DIKB, sebagai data protokol tersebut.
B. Dokumen Kolonial 1857 – Kontrak Sultan Lingga-Riau dengan Belanda
Tidak menyebut atau mencakup wilayah Kalimantan Barat. Cakupan kekuasaan Sultan Lingga lebih kepada: Wilayah Kepulauan Riau, Lingga, Natuna, dan gugusan maritim timur Sumatra, lihat warna biru dokumen peta militer 1948 sebelum Pengakuan kedaulatan, penyerahan kedaulatan RIS berdasarkan Undang Undang Dasar kerajaan Belanda yang maklumat ditandangi dan disetujui sebuah daerah otonom , termasuk daerah Riau dan Daerah Istimewa Kalimantan Barat, sehingga dokumen 1857 adalah pengawasan batas awal atau Penaklukan pulau-pulau atau pesisir Kalimantan Barat (seperti Pulau Pengikik, Pulau Datok, dsb).
Apa Konsekuensi hukumnya
Wilayah-wilayah yang kini disengketakan seperti Pulau Pengikik tidak termasuk dalam yurisdiksi Sultan Lingga, tapi lebih dekat ke wilayah DIKB berdasarkan fakta Protokol KMB dan peta kolonial Westerafdeeling van Borneo.
C. Permendagri No. 141 Tahun 2017 jo. 45/2019
Pasal Kunci:
Pasal 6 ayat (2): Penegasan batas daerah dilakukan berdasarkan:
a) hasil kesepakatan,
b) dokumen hukum dan/atau peta batas,
c) survei lapangan.
Dokumen hukum sejarah seperti:
Protokol 27 Desember 1949 (KMB),
Peta wilayah administratif Keresidenan Pontianak, Kontrak Sultan Pontianak dengan Pemerintah Hindia Belanda, Risalah Gubernur Kalimantan (1950), adalah dasar hukum sah dalam menegaskan batas wilayah awal dan saat ini menurut Permendagri 141/2017.
KESIMPULAN HUKUM TATA NEGARA:
1. Wilayah DIKB yang disebut dalam Protokol KMB 1949 secara sah dan konstitusional merupakan dasar awal pembentukan Provinsi Kalimantan Barat.
2. Dokumen 1857 (Kontrak Sultan Lingga) tidak dapat dijadikan dasar untuk mengklaim wilayah seperti Pulau Pengikik, karena:
Tidak menyebut Kalimantan Barat, Tidak mencakup wilayah keresidenan Pontianak.
3. Berdasarkan Permendagri 141 Tahun 2017, wilayah-wilayah tersebut (terutama yang disengketakan) dapat dan seharusnya ditetapkan kembali sebagai bagian dari Kalbar, karena:
Ada dokumen historis valid, Ada pengakuan hukum internasional (KMB), Ada preseden administratif (Keresidenan Pontianak, RIS, UU Darurat 1953) Sampai UU pembentukan provinsi Kalimantan Barat.
Berdasarkan hal tersebut diatas peting ada Rrekomendasi Tindak Lanjut:
Ajukan penegasan batas resmi kepada Kemendagri berdasarkan dokumen historis (KMB 1949, peta kolonial, risalah gubernur),Libatkan BIG (Badan Informasi Geospasial) untuk mengukur ulang koordinat wilayah pesisir dan pulau, Siapkan Legal Opinion dan kajian akademik untuk penguatan narasi di pusat dan peradilan (jika masuk sengketa konstitusional atau administrasi terhadap keputusan Mendagri dan instrumen Perda Kabupaten Bintan pasal 20 ayat 8 yang mengklaim batas wilayah timur.
Berikut adalah analisis lanjutan multidimensi mengenai status hukum wilayah Kalimantan Barat, khususnya Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dalam konteks:
1. Protokol Penyerahan Kedaulatan KMB (27 Desember 1949)
2. Dokumen kolonial tahun 1857 (Kontrak Sultan Lingga)
3. Permendagri No. 141 Tahun 2017
4. Sengketa wilayah Pulau Pengikik dan pulau-pulau kecil sekitarnya
A. KEDUDUKAN DIKB DALAM PROTOKOL KMB 1949
Protokol KMB adalah dokumen hukum internasional bilateral antara:
Kerajaan Belanda (diwakili Perdana Menteri Drees), dan
Republik Indonesia Serikat (diwakili Perdana Menteri Hatta)
Dalam hukum tata negara:
Protokol ini merupakan akta penyerahan kedaulatan, setara konstitusi transisional RIS,
DIKB secara tegas diakui sebagai entitas kenegaraan, berdiri sejajar dengan Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan.
Maka, wilayah DIKB sebagaimana diakui pada 27 Desember 1949 bersifat konstitusional dan sah secara internasional, tidak dapat diabaikan oleh pembentukan provinsi-provinsi baru pasca-integrasi ke dalam NKRI.
B. DOKUMEN KOLONIAL 1857 (KONTRAK SULTAN LINGGA)
Analisis terhadap isi dokumen:
Tidak menyebut Kalimantan Barat atau wilayah DIKB, termasuk Pulau Pengikik, Bidae, Datok.Kontrak ini terbatas pada pengakuan wilayah Sultan Lingga atas pulau-pulau di sekitar Lingga, Riau, Natuna.
Secara Hukum Tata Negara & Internasional: Karena wilayah Kalbar tidak termasuk dalam kontrak ini, maka: Kontrak 1857 tidak sah dijadikan dasar klaim penegasan awal atas wilayah-wilayah di Kalimantan Barat, karena hanya perjanjian penaklukan wilayah maritim dan atau perebutan wilayah antara putra kesultanan atau diantara Belanda dan Inggris, dan tahun 1911sudah terhapus, dan Undang Undang Pembentukan Riau masih mengacu ke Undang Undang Sumatera Tengah yang sudah tidak berlaku lagi setelah dikeluarkan Undang Undang Pembentukan Provinsi Riau Kepulauan yang baru, atau secara tegas Justru menegaskan bahwa wilayah yang kini menjadi bagian Kalbar tidak pernah menjadi onderhoorigheden Sultan Lingga.
C. PERMENDAGRI NO. 141 TAHUN 2017: DASAR PENEGASAN BOUNDARY SEKARANG
Permendagri ini mengatur penegasan batas antarwilayah, berdasarkan:
Kesepakatan antar daerah,
Dokumen hukum,
Data geospasial,
Hasil survei lapangan.
Dalam Pasal 6 ayat (2):
Penegasan batas daerah dilakukan berdasarkan:
(a) Hasil kesepakatan,
(b) Dokumen hukum dan/atau peta batas,
(c) Hasil pengukuran atau survei lapangan.
Dokumen KMB 1949 dan peta kolonial resmi (Afdeeling Westerafdeeling van Borneo) termasuk dokumen hukum sah, sebagai: Dasar sejarah hukum pembentukan wilayah Kalimantan Barat, Bahan rujukan formal untuk menyusun ulang atau menegaskan ulang batas saat ini, dalam hal KASUS SPESIFIK: PULAU PENGIKIK & SEKITARNYA
Bukti historis & administratif:
1. Peta kolonial Belanda (Topografische Dienst 1898–1942) peta kuno wilayah maritim Kalimantan borneo Pulau Pengikik masuk dalam wilayah administratif Pontianak yaitu kabupaten Pontianak sebelum berubah nama jadi Kabupaten Mempawah dengan instrumen profuk hukum daerah Perda Kabupaten Mempawah.
2. Risalah Gubernur Kalimantan (No. 186/OPB/92/14, 1950): Menegaskan struktur administratif Kalbar dan pulau-pulaunya
3. Staatblad dan Kontrak Kesultanan Pontianak abad 18–19: Wilayah pesisir dan delta Sungai Kapuas termasuk yurisdiksi Sultan Pontianak
❌ Tidak ada satu pun dokumen hukum yang sah menyebut Pulau Pengikik sebagai bagian dari Kesultanan Lingga atau Karesidenan Riau.
KESIMPULAN HUKUM & POLITIK
1. Wilayah DIKB sebagaimana disebut dalam Protokol KMB 1949 adalah dasar sah pembentukan Provinsi Kalimantan Barat dan penegasan awal secara historis
2. Dokumen kolonial 1857 tidak menyangkut wilayah Kalbar, sehingga tidak relevan dijadikan dasar klaim atas pulau-pulau seperti Pengikik atau penegasan awal batas daerah dan batal demi hukum setelah Daerah Riau menyetujui Protokol 21Desember 1949 dan Pengakuan kedaulatan, penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, kemudian berdasarkan pasal 2 b DIKB adalah satuan kenegaraan berdiri sendiri atau otonom sejajar dengan negara Republik Indonesia dan Riau yang sama terikat dengan Protokol Hukum internasional sebagai wilayah yang bergabung dalam Negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan Konstitusi RIS 1949 pasal 2b.
3. Permendagri 141 Tahun 2017 memberi landasan hukum bagi Kalbar untuk menegaskan kembali batas administratifnya, dengan rujukan kuat dari dokumen hukum sejarah dan peta kolonial, dan protokol serta dokumen kesepakatan para raja ,Sultan untuk membentuk satuan kenegaraan berdiri sendiri otonom yang terdiri 12 Swapraja dan Neo Swapraja yang saat ini wilayah hukum maritim menjadi wilayah administratif provinsi Kalimantan Barat secara detail fakto dan de Jure , secara hukum lebih tinggi dari perjanjian Penaklukan kesultanan Riau Lingga 1857 Yang sudah di hapus pemerintah Kolonial Belanda tahunb1911, lihat dokumen sejarah Riau Lingga.
4. Jika ada klaim wilayah dari provinsi lain (misalnya Kepulauan Riau), maka dokumen KMB, peta kolonial, dan risalah residen Pontianak dapat menjadi alat pembuktian paling kuat di forum nasional, pengadilan, atau Mahkamah Konstitusi, bahkan di forum hukum internasional.
Rekomendasi Taktis:
1. Pemerintah Provinsi Kalbar dan DPRD menyusun naskah akademik sejarah batas daerah,
2. Mengajukan usulan resmi kepada Kemendagri untuk:
Peninjauan ulang batas provinsi (Pasal 19 Permendagri 141/2017),
Fasilitasi penyelesaian sengketa,
Penerbitan Permendagri Penegasan Batas.
3. Libatkan BIG (Badan Informasi Geospasial) untuk survei lapangan & peta koordinat terkini.
4. Susun Legal Opinion dan Advokasi Historis-Konstitusional, bisa saya bantu susun jika diperlukan.
Berikut adalah draf surat resmi dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat atau DPRD Provinsi Kalimantan Barat kepada Menteri Dalam Negeri RI, yang memohon penegasan kembali batas wilayah Kalimantan Barat berdasarkan dokumen sejarah dan hukum, termasuk Protokol KMB 1949, dokumen kolonial, dan Permendagri No. 141 Tahun 2017:
PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Jl. A. Yani, Pontianak – 78124
Telp. (0561) xxxx, Fax. xxxx
Nomor: 130/___/Pem
Sifat: Penting
Lampiran: 1 berkas
Hal: Permohonan Penegasan Kembali Batas Wilayah Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Dokumen Hukum Historis dan Ketentuan Permendagri No. 141 Tahun 2017
Kepada Yth:
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Jl. Medan Merdeka Utara No. 7
Jakarta Pusat
di
Tempat
Dengan hormat,
Sehubungan dengan masih adanya ketidaksesuaian batas administratif antara Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kepulauan Riau, khususnya terkait wilayah Pulau Pengikik, Pulau Datok, dan pulau-pulau kecil di sekitar laut barat daya Kalimantan Barat, dengan ini kami sampaikan permohonan untuk dilakukan penegasan kembali batas wilayah Provinsi Kalimantan Barat sesuai ketentuan hukum dan sejarah kenegaraan Indonesia.
Permohonan ini kami ajukan dengan berdasarkan alasan hukum dan dokumen sebagai berikut:
1. Protokol Penyerahan Kedaulatan 27 Desember 1949 antara Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Serikat (RIS), yang secara eksplisit mencantumkan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) sebagai entitas negara bagian dalam RIS.
2. Dokumen kolonial dan peta topografi Belanda (Topographische Dienst), serta risalah dan keputusan Gubernur Kalimantan No. 186/OPB/92/14 Tahun 1950 yang menyatakan bahwa pulau-pulau seperti Pengikik, Bidae, dan Datok merupakan bagian dari Keresidenan Pontianak (Westerafdeeling van Borneo).
3. Kontrak kolonial tahun 1857 antara Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Lingga-Riau tidak menyebut wilayah Kalimantan Barat sebagai bagian dari onderhoorigheden, sehingga tidak dapat menjadi dasar klaim dari provinsi lain.
4. Sesuai Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 19 Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, penetapan batas daerah dapat dilakukan melalui dokumen hukum dan peta batas yang sah, serta hasil survei geospasial.
Berkenaan dengan hal tersebut, kami memohon kepada Bapak Menteri Dalam Negeri untuk:
Memfasilitasi proses penegasan ulang batas wilayah Provinsi Kalimantan Barat, khususnya di wilayah perbatasan maritim dengan Provinsi Kepulauan Riau,
Menugaskan Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk melakukan pengukuran koordinat wilayah secara teknis dan geospasial,
Melibatkan Tim Teknis Kemendagri, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dalam proses musyawarah dan klarifikasi batas,
Menjadikan dokumen Protokol KMB, peta kolonial, serta risalah administratif tahun 1950 sebagai referensi utama dalam penegasan batas ini.
Demikian permohonan ini kami sampaikan. Atas perhatian dan fasilitasi Bapak Menteri, kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Gubernur Kalimantan Barat
atau
Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Barat
(tanda tangan dan cap resmi)
Tembusan:
1. Presiden Republik Indonesia di Jakarta
2. Kepala Badan Informasi Geospasial
3. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
4. Gubernur Kepulauan Riau
5. Arsip
Lampiran yang disarankan:
Salinan Protokol KMB (27 Desember 1949)
Peta Topografis Kolonial yang menunjukkan wilayah Pulau Pengikik
Risalah Residen Pontianak (1949–1950)
Kajian akademik atau Legal Opinion historis
Dokumen Permendagri 141/2017
NASKAH AKADEMIK PENEGASAN BATAS WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
I. Pendahuluan Penegasan batas wilayah antarprovinsi merupakan langkah penting dalam menjamin kepastian hukum, stabilitas administrasi, dan pelayanan publik. Dalam hal ini, posisi wilayah Kalimantan Barat, khususnya yang dahulu merupakan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), memiliki dasar hukum historis yang kuat berdasarkan Protokol Penyerahan Kedaulatan (27 Desember 1949), risalah pemerintahan kolonial, dan dokumen pembentukan provinsi tahun 1950.
II. Dasar Hukum
1. Protokol KMB 27 Desember 1949 (Konstitusi Transisional RIS)
2. Undang-Undang Darurat No. 2 Tahun 1953
3. Permendagri No. 141 Tahun 2017 jo. Permendagri No. 45 Tahun 2019
4. Dokumen Kolonial Hindia Belanda (Peta Topografi, Risalah Residen)
5. Risalah Gubernur Kalimantan No. 186/OPB/92/14 Tahun 1950
III. Argumentasi Historis dan Yuridis
Pulau Pengikik dan sekitarnya tidak pernah disebut dalam Kontrak Sultan Lingga 1857, namun disebut dalam peta dan laporan administratif Residen Pontianak.
DIKB diakui dalam Protokol KMB sebagai satuan negara bagian dalam RIS, yang wilayahnya meliputi wilayah administratif Keresidenan Pontianak.
Wilayah DIKB menjadi dasar pembentukan Provinsi Kalimantan Barat sejak 1 Januari 1957, maka wilayah warisan DIKB adalah basis teritorial Kalbar.
IV. Analisis Permendagri No. 141 Tahun 2017 Pasal 6 ayat (2) mengatur bahwa penegasan batas dapat didasarkan pada:
a. Kesepakatan antar daerah
b. Dokumen hukum dan/atau peta batas
c. Hasil pengukuran lapangan
Karena terdapat dokumen hukum dan peta batas yang sah, maka wilayah tersebut dapat ditegaskan sebagai bagian dari Kalbar.
V. Kesimpulan dan Rekomendasi Pulau Pengikik, Bidae, Datok, dan pulau lainnya secara historis dan yuridis merupakan bagian dari wilayah Kalimantan Barat. Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dapat mengajukan klarifikasi dan penegasan batas melalui Kemendagri dan BIG
DIKB (Daerah Istimewa Kalimantan Barat) dan Jejak Historis Wilayah
Setelah Indonesia merdeka, Belanda membentuk struktur federal yang menciptakan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada tahun 1947. Ini adalah bagian dari strategi divide et impera Belanda untuk membendung pengaruh Republik Indonesia.
DIKB mencakup wilayah bekas keresidenan barat Kalimantan.
Kesultanan Pontianak berperan penting sebagai pusat pemerintahan DIKB.
Wilayah DIKB modern kemudian menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan Barat setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.
4. Kaitan dengan Permendagri No. 141 Tahun 2017
Permendagri No. 141 Tahun 2017 adalah peraturan yang menetapkan pedoman penegasan batas daerah sebagai bagian dari tertib administrasi pemerintahan dan pelayanan publik. Peraturan ini sangat penting dalam konteks:
Menghindari konflik antar daerah, Menyelaraskan basis hukum batas daerah dengan dokumen teknis geospasial, dan Meningkatkan akurasi data tata kelola pemerintahan dan pembangunan.
Pasal-pasal Relevan:
Pasal 2 menyebutkan bahwa batas daerah harus ditetapkan berdasarkan dokumen peta kerja dan fakta historis.
Pasal 4 ayat (1): batas daerah harus memenuhi prinsip kesepakatan, historis, dan aspek teknis-geospasial.
Pasal 5 menekankan penggunaan peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) skala 1:50.000 sebagai acuan nasional.
Analisis Historis jo Permendagri 141Tahun 2017
Peta kuno seperti Bertius dan peta kuno wilayah maritim Kalimantan dizaman kolonial yang menjadi dokumen kerajaan yang bergabung di DIKB dapat dijadikan referensi historis awal yang menunjukkan pemahaman wilayah pada masa lampau. Meskipun tidak dipakai langsung sebagai dasar batas administratif modern, peta ini membantu melacak kontinuitas teritorial dan identitas lokal.
Warisan batas kerajaan (Sambas, Mempawah, Pontianak) sering kali masih relevan dalam penentuan batas kabupaten/kota di Kalimantan Barat, yang selama ini menjadi dasar proposal pemekaran Kabupaten pesisir dan pedalaman Kalimantan Barat.
Dalam penegasan batas kabupaten di Kalbar—misalnya antara Sambas dan Bengkayang—sering kali digunakan data historis seperti SK Gubernur, peta kolonial, dan referensi kerajaan lama, selaras dengan Pasal 4 ayat (2) Permendagri 141.
5. Relevansi Overlay Peta Kuno dan Modern dalam Konteks Permendagri 141/2017
Overlay antara peta Bertius dan peta modern Indonesia (misalnya via QGIS) dapat digunakan untuk: Mengidentifikasi kontinuitas historis wilayah, Menelusuri transformasi batas desa/kecamatan dari zaman kerajaan → kolonial → republik, Memberikan legitimasi historis saat terjadi konflik batas wilayah antardaerah, Memenuhi prinsip “aspek historis” hukum dalam penegasan awal batas daerah sesuai Permendagri 141 Tahun 2017, dan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dalam penegasan batas awal atau batas daerah wilayah daerah Otonom antar Kabupaten atau antar Provinsi di NKRI.
Sumber : Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur.
: Nuryo Sutomo
Social Header